Benhes adalah salah satu desa asli yang didiami oleh masyarakat dari etnis Dayak Wehea, yang letaknya dibagian Hulu Sungai Tlan (orang luar biasa menyebut Sungai Telen). Sebagai desa terakhir di bagian hulu Sungai Tlan, tidak ada desa lagi masyarakat lainnya yang menempati wilayah bantaran sungai tersebut ke arah hulu Sungai Tlan hingga ke perbatasan Kabupaten Kutai Timur dengan Kabupaten Malinau dan Bulungan di Kalimantan Utara.
Permukiman masyarakat Desa Benhes saat ini merupakan permukiman terakhir setelah berbagai perpindahan atau migrasi penduduk yang terjadi pada masa lalu. Sungai Tlan sebagai salah satu sungai besar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari DAS Mahakam, dimana sebaran Suku Dayak Wehea berada, sering disebutkan dalam beragam prosesi adat, diantaranya adalah dalam Ritual Nemlen, Unding dan melas tanah pada lahan yang akan dibuka dan dengan menyebut nama para leluhur bertujuan untuk memohon izin atau permisi agar kegiatan yang akan kita lakukan dijauhkan dari malapetaka atau wabah penyakit serta pada berbagai sub ritual dalam rangkaian panjang Ritual Lom Plai atau Pesta Panen Padi dalam tradisi Suku Dayak Wehea.
Nama Desa Benhes terdiri dari dua suku kata yang dalam bahasa Wehea mengandung artian tersendiri. Bea berarti diatas dan Nehas berarti pasir/koral, sehingga Benhes dapat diartikan sebagai kampung yang berdiri diatas pasir.
Selain merupakan salah satu desa Wehea, terdapat beberapa desa lainnya yang juga didiami oleh Suku Dayak Wehea di bantara Sungai Tlan, diantaranya adalah Desa Diak Lay, Dea Beq dan Diaq Leway serta di bantaran Sungai Wehea, yaitu Desa Nehas Liah Bing dan Desa Long Wehea.
Pada masa lalu, terdapat kesulitan bagi orang luar untuk menyebutkan nama-nama desa dalam sebutan lokal Dayak Wehea, sehingga terjadinya praktek kesalahan penyebutan yang terjadi hingga saat ini, dimana seperti halnya desa-desa Wehea lainnya, Desa Bea Nehas selalu disebutkan dengan Benhes atau Bean Heas yang jika diartikan mengandung konotasi yang sangat negative, dimana Ben berarti (meng) gendong dan Hes berarti Kurap, sehingga apabila diartikan, nama desa tersebut keluar dari makna dan filosofi sebenarnya dari kampung yang didirikan di atas area yang berpasir/koral menjadi (meng) gendong kurap.
Hal di atas menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat asli di desa tersebut, sehingga pada saat ini telah melakukan berbagai upaya, termasuk rencana untuk pengajuan untuk melakukan revisi atas kesalahan penyebutan tersebut kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan harapan agar hal tersebut dapat difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melalui instansi terkait, yaitu Bappeda Kutai Timur dan DPMD Kutai Timur.
Beragam kesalahan tersebut akhirnya mulai diperbaiki dengan semakin tingginya tingkat kesadaran dari masyarakat Wehea terkait beragam kesalahan penyebutan yang terjadi hingga menghilangkan makna dari nama-nama desa itu sendiri dan terutama sejak masuknya sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama The Nature Conservancy yang bekerja bersama masyarakat adat Dayak Wehea dalam pengelolaan Hutan Lindung Wehea yang sejak tahun 2005 gencar mempromosikan tentang eksistensi serta kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Suku Dayak Wehea, kemudian pada tahun 2006, dilakukan terobosan oleh beberapa kelompok mahasiswa Universitas Mulawarman, Samarinda yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan cara mengubah atau membuat beberapa plang nama desa pada beberapa desa Wehea sesuai dengan sebutan sebenarnya yang ada dalam kosa kata bahasa Suku Dayak Wehea.
Berdasarkan penuturan dari para tetua adat Wehea, pada masa lalu tidak ada masyarakat dari komunitas lainnya yang mendiami wilayah Sungai Tlan maupun Sungai Wehea, hingga masuknya para pendatang ke kedua wilayah tersebut di daerah-daerah sekitar bantaran Sungai Tlan dan Wehea, diantaranya adalah Desa Muara Wahau, kemudian menyusul Desa Miau Baru pada akhir dekade 1960-an dan terakhir desa-desa eks Transmigrasi sebanyak 10 UPT pada tahun 1985 hingga 1989.
Sementara masuknya pendatang secara massif ke wilayah-wilayah desa Wehea mulai terjadi saat dimulainya ijin usaha perkayuan (HPH), sehingga para pendatang yang bekerja mulai menyebar dan menetap pada beberapa desa Wehea dan pada masa itu ditandai dengan masuknya PT. AVDECO, sebuah PMA dari Filipina pada tahun 1972 yang beroperasi pada wilayah adat Dayak Wehea.
Terkait dengan Desa Muara Wahau, menurut Bapak Ledjie Tot, salah satu tetua adat di Desa Benhes, pada masa lampau, kampung Muara Wahau saat ini didiami warga Suku Dayak Wehea dari Nehas rga duluLiah Bing dan pemukiman yang ada saat ini merupakan kawasan perkampungan (pondok-pondok masyarakat) serta perladangan dari masyarakat Nehas Liah Bing termasuk di wilayah itu terdapat beberapa kuburan keluarga Wehea dan tidak ada penduduk lainnya di wilayah tersebut selain penduduk Wehea sendiri tetapi seiring perkembangan, kemudian mulai masuk warga dari luar desa yang berasal dari bagian hilir wilayah Wehea termasuk para pedagang Tionghoa.
Ditinjau dari aspek kewilyahan, menurut Ledjie Tot, Desa Muara Wahau pada masa lalu tidak memiliki wilayah, dan wilayah yang ada saat ini merupakan wilayah adat dari Desa Nehas Liah Bing dan ditambahkan oleh Bapak Tleang Lung (Kepala Adat Desa Dea Beq) bahwa desa-desa Wehea di bantaran Sungai Tlan berbatasan langsung dengan Desa Nehas Liah Bing dan juga Desa Diaq Leway.
Pada masa lalu, banyak pedagang-pedagang dari luar daerah (diantaranya dari Suku Bugis) yang datang ke daerah tersebut yang berjualan kain kepada masyarakat setempat, kemudian membuat pondok, dan secara bertahap mulai menetap di kampung tersebut, dan pada masa selanjutnya kemudian datang masyarakat campuran Suku Bugis dan Samarinda Seberang serta masyarakat Kutai dari bagian hilir Sungai Tlan.
Berdasarkan sejarah yang diceritakan secara turun temurun dalam tradisi masyarakat adat Wehea, batas wilayah Suku Kutai berdasarkan pembagian dan kesepakatan pada masa lampau adalah wilayah Keham Sungai Tlan di bagian hulu Kampung Batu Ampar.
Masyarakat Suku Dayak Wehea memiliki wilayah hingga daerah Keham di bagian hulu kampung Batu Ampar, sementara pada bagian hilir Keham merupakan kekuasaan atau wilayah Suku Kutai dan bagi kedua komunitas tersebut, apabila melewati Keham tersebut (misalnya masyarakat Dayak Wehea menuju ke hilir Sungai Tlan) selalu membuang telur dan beras berwarna tertentu yang biasa disebut Lekoq Keptiaq dan juga sebaliknya.
Pada masa lalu, Suku Dayak Wehea sering berperang dengan suku-suku lainnya, sehingga dari hal tersebut suku-suku lainnya selalu menghindar untuk memasuki wilayah tersebut, sementara itu, terkait dengan keberadaan raja atau penguasa, pada masing-masing kampung Wehea telah memiliki raja/penguasanya masing-masing, demikian menurut penuturan Bapak Ledjie Tot, seorang tetua adat Desa Benhes serta almarhum Bapak Tleang Lung dari Desa Desa Beq.
Terkait dengan hal tersebut, pada saat ini dapat disaksikan melalui Ritual Seksiang, yaitu perang-perangan di atas sungai yang merupakan kiasan perjuangan dari pada leluhur masyarakat Dayak Wehea dalam mengusir musuh yang akan memasuki atau menyerang kampung, dan ritual tersebut dapat disaksikan pada puncak perayaan Lom Plai, yaitu pada Ritual Mbob Jengea yang terdiri dari beberapa sub ritual, antara lain Ritual Ngesea Egung (Palu Gong), Ritual Seksiang (perang-perangan di Sungai), Ritual Embos Min (pembersihan kampung), Ritual Peknai (siram-siraman air dan mencoreng arang pada wajah) dengan puncaknya, yaitu Ritual Hudoq dan Tarian Tumbambataq.
Pada saat Belanda mulai masuk ke wilayah pedalaman, dan Kesultanan Kutai takluk dibawah pengaruh Belanda, kemudian oleh Belanda diangkat 2 orang raja, yang pertama di Kampung Diaq Leway bergelar Temanggung Geah Blew dan Temanggung Jie Ban, kemudian mengangkat Raja Alam (Bit Luak) dan Pangeran Muda bernama Ding Bong di Kampung Nehas Liah Bing.
Setelah itu, Belanda kemudian kembali mengangkat raja di Kampung Bea Glang (sekarang Dea Beq) bergelar Pangeran Isa Prana alias Helaq Tot, dan disusul dengan pengangkatan raja di Kampung Bea Ling (sekarang Diak Lay) dengan penguasanya adalah Pangeran Isa Wardana alias Leah Lejie, dan dilanjutkan dengan pengangkatan raja di Kampung Benhes Lama (bagian hulu kampung saat ini), dengan raja bernama Mas Joyo Suro alias Beang Wung. Dari para penguasa yang ada tersebut, yang paling terkenal adalah Mas Joyo Suro alias Beang Wung dari Benhes dan Raja Alam dari Desa Nehas Liah Bing.
Masyarakat Kampung Benhes, seperti halnya masyarakat Suku Dayak Wehea lainnya berasal dari Epa Kejien (Apau Kayan) yang merupakan nama wilayah dan nama kampung mereka di wilayah tersebut adalah Min Bea Lta On Long Pengaq Kejien dengan pimpinan mereka pada masa itu bernama Long Wang Dang Kanjong serta adiknya Dea Wang Kanjong.
Dari wilayah di atas, kemudian bermigrasi ke wilayah Min Sun Kung Kumul yang berarti kampung diatas gunung dan dari tempat itu kemudian terpecah menjadi beberapa bagian, antara lain yang turun melalui Sungai Tlan (cikal bakal Suku Wehea di Sungai Tlan), Sungai Kelay dan Segah (Suku Gaai) dan Sungai Mahakam di daerah Long Gelat.
Dari perpecahan tersebut, kemudian kelompok masyarakat yang turun melalui Sungai Tlan membuat kampung di Long Patak, kemudian berpindah lagi di sekitar Sungai Suh (Min Dea Sebleng Peapeang) dan Sungai Tlan (Min Dea Sebleng Peapung), sekarang orang biasa menyebut Gua Peapung.
Dari kedua kampung tersebut kemudian berpindah lagi ke bagian hilir, yaitu He’ung Leah Leang dan berpindah lagi ke Long Puhus (Sungai Puhus), dan menurut legenda masyarakat Wehea di Benhes, kampung tersebut telah berubah menjadi batu dan dari penelusuran sejarah saat ini berada di sekitar lokasi Pabrik Kelapa Sawit PT. DSN Group (PKS-2).
Dari Long Puhus kemudian berpindah ke bagian hilir, yaitu Min Sun Tengun Delay dengan penguasanya adalah Hejiq Hem dengan Pangerannya adalah Jiang Bong Hejiq. Hingga di lokasi kampung tersebut, ketiga kampung di Sungai Telen masih menyatu dan belum terpencar seperti saat ini dan selanjutnya dari Kampung Sun Tengun Delay kemudian berpindah lagi ke Min Guang Gelong dengan beberapa penguasanya adalah Siang Dom Luaq Luen, Et Noq dan Yen Yok.
Dari kampung tersebut kemudian berpindah dan terpencar ke beberapa wilayah, diantaranya ke wilayah Long Jeneaw, Weta Ban (saat ini menjadi Desa Long Segar – Suku Dayak Kenyah), Tengun Deheng (daerah Diaq Leway), Long Beang Leq (daerah Diaq Leway), Diaq Leway, Bea Gelang (Dea Beq) dan Bea Ling (Diak Lay).
Sementara itu, warga Benhes (saat ini) dari Long Jeneaw berpindah ke Benhes Hilir, kemudian berpindah ke Benhes Tengah dan kemudian berpindah ke Benhes Hulu, dengan Raja Mas Joyo Suro, dan akhirnya berpindah kembali ke kampung Long Jeneaw. Saat kembali ke kampung Long Jeneaw, Mas Joyo Suro meninggal dan kemudian diganti oleh anaknya bergelar Mas Jaya Indra (diberi gelar oleh Pemerintah Indonesia) alias Lung Lenget Bea, dan terakhir berpindah ke kampung Benhes (saat ini) dengan penguasanya adalah Wang Lung Lenget.
Alasan-alasan perpindahan kampung terkait dengan budaya yang hidup pada masa itu, antara lain karena adanya kepercayaan sulit melahirkan, sehingga harus keluar untuk melahirkan di luar kampung, tetapi setelah meninggal dibawa kembali ke kampung, sehingga masyarakatnya berpindah dan membuka kampung lainnya.
Sekitar dekade1950-an, masyarakat mulai menetap di wilayah Ling Geah Gieu dan hingga saat ini, sebagian warga masih tetap menetap di tempat tersebut, dan sejak tahun 1996, sebagian warga berpindah kearah darat (utara) kampung mendekati akses jalan yang baru dibuka dengan bantuan murni dari PT. Narkata Rimba.
Setelah masuknya PT. AVDECO pada tahun 1972, kemudian menyusul beberapa perusahaan HPH yang beroperasi dalam wilayah desa Wehea termasuk Desa Benhes, antara lain PT. Narkata Rimba, PT. Mugit Riman, PT. Intertropic dan PT. OTP.
Pada tahun 1982 terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kebakaran besar yang melanda sebagian besar wilayah Kalimantan termasuk hingga ke wilayah Desa Benhes serta desa-desa sekitarnya dan pada tahun 1997, kebakaran besar kembali terjadi akibat kemarau panjang dan bahkan menimbulkan terjadinya ancaman bencana kelaparan dalam wilayah desa.
Sejak tahun 1992, investasi dari perusahaan HPH mulai memasuki wilayah Adat Desa, yaitu PT. Narkata Rimba, PT. Mugi Triman, PT. Darma Setya Nusantara (DSN), PT. Ocean Timber Prod (OTP) dan PT. Inter Tropik Aditama. Seiring dengan dengan perkembangan zaman dan ketatnya perizinan HPH makan diantara perusahaan diatas hanya PT. Narkata Rimba saja yang masih eksis sampai sekarang.
Pada masa lalu hingga awal dekade 1990-an, belum ada jalan penghubung antar desa, sehingga untuk bepergian keluar kampung, masyarakat Desa Benhes selalu menggunakan perahu ketinting saat mengunjungi desa lainnya, sehingga pada tahun 1994-1996, melalui program bina desa, PT. Narkata Rimba kemudian membuka jalan penghubung ketiga desa di bantaran Sungai Tlan dengan Desa Muara Wahau.
Dengan adanya jalan penghubung yang menghubungkan desa-desa di bantaran Sungai Tlan, perkembangan desa semakin membaik dan pada tahun 1998, PT. DSN (eks-AVDECO) kemudian mendapatkan ijin alih fungsi lahan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit melalui PT. Swakarsa Sinar Sentosa dan disusul pada tahun 2004-2005 dikembangkan pula perkebunan kelapa sawit oleh PT. Karyanusa Eka Daya (KED) di seberang Sungai Tlan.
Tahun 2005 PT. Telen Orbit Persada (TOP) melakukan eksplorasi di Desa Benhes disusul oleh PT. Telen Eco Coal (TEC), PT. Persada Multi Bara (PMB) dari PT.BEP Group. Pada tahun 2013 masuk lagi perusahaan baru yakni PT. Kaltim Mineral yang juga mau melakukan explorasi pertambangan batu bara di Desa Benhes dan dari hasil survey diperkirakan kandungan batu bara di Benhes diperkirakan kurang lebih 6.000.000.000 metrik ton, ini merupakan kandungan terbesar sumber daya alam di Desa Benhes.
Perkampungan Benhes pada dasarnya telah cukup tertata. Permukiman masyarakat desa tersebar dalam beberapa blok permukiman yang terpisah oleh jalan kampung. Diperkirakan, hal tersebut disebabkan karena sekitar tahun 1974, perkampungan Benhes telah mengalami sentuhan terutama terkait dengan sistem penataan permukiman oleh pemerintah yang masih terlihat hingga kini.
Selain permukiman yang terdapat di perkampungan hasil migrasi terakhir, kemudian sejak tahun 2004/2005 dilaksanakan program pengembangan permukiman kebagian hulu kampung saat ini dan pada tahun 2000-an kemudian mulai dikembangkan ke wilayah kampung bagian darat termasuk pengembangan wilayah rukun tetangga serta pembangunan SMPN 3 Benhes.
Sementara itu, dari aspek pemerintahan desa, hingga saat ini, Desa Benhes telah dipimpin oleh sembilan kepala desa dengan kepala desa pertama bernama Ding Kendeq tahun 1942 kemudian berturut-turut terjadi pergantian, antara lain oleh Siang Kla, Beang Kung, Beang Teq, Delin Daq, Lung Bek, Wang Lung Lenget, Ngew Ding (2 periode) dan terakhir Stefani Long sekaligus sebagai kepala desa perempuan pertama di Desa Benhes maupun dalam wilayah desa-desa Dayak Wehea lainnya dan kemudian sejak tangga 17 Pebruari 2023 secara resmi telah dilantik kepala desa yang baru, yaitu Yohanes Ngew Ding (periode ketiga) yang akan menjabat hingga tahun 2028.